Jumat, 29 Agustus 2014

cara melakukan hubungan suami istri dari tanah bugis

Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga dipakai masyarakat petani sawah pinceng pute di awal masa tanam.

Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap dan menanam.

Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender, makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis pinceng pute ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang menjadi inisiator.


Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-pinceng pute ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah.

Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan.

Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.

Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri.

Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.

Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay.

Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng).

Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.

Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka.

Titik “rawan” istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung).

Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar).

Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas).

Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.

Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati.

Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak terjadi karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks.

Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti buku-buku lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan nafsu belaka.

Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah yang lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas.

Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar, kepada sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada apa-apanya.

Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu.

Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).

Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik menahan nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui apakah seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria untuk mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung.

Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit.

Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu

“.. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria
.......................................................................................................................

Pesan singkat salah seorang pembaca di atas, hanyalah satu dari seratusan pertanyaan dan eskpersi senada yang masuk ke saya, sejak tulisan ini muncul pekan lalu.
ekhy kedda, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.

Penulis menggunakan istilah tasawupe’ allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan.

Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (

Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.

Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.

Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.

Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.

“Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?”
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.”

“Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.”

Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-bone pinceng pute, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.

Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari.

Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.

Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu , buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.

“lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar.”
Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.

Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.

“Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”.
Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung.

Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri).

Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri!)

“Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae/ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna/…..! Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe)/tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau…., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu/subhanallah../”
Artinya, “….arahkan zakarmu, dan bacalah ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna/….kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, … ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali….

Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis bonr terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (thamzil thahir)


Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.

Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis,

Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari transliterasi asli “kitab assikalaibineng” lontara ke dalam abjad melayu berikut terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan peninggalan leluhur Bugis- yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam.

Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.

Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita.

Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional, tulisekhy, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar.

Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu tempat
Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon.

Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang banyak.

Untuk menjaga kebugaran tubuh, assikalaibineng misalnya merekomendasikan di kamar tidur dan massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh. Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak perlu cream pelembab atau whitening motion,

Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan “air mani” sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan,

Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta’na narekko le’ba mpusoni (adab setelah persetubuhan).

“(h.75) . Rekko mangujuni ilao manimmu takabbereno wekka eppa/urape’ni alemu, nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi nurung Muhammad habibillah./ nareko purano mualai wae, muteggoi bikka tellu, nareko purano, mualani minyak pasaula, musaularenggi kutawwamu apa napoleammengi dodong mupogaukangeki paimeng/Apa’ nasenggao manginggi’/ Aja mu papinrai gaumu denre purai mupogau, iya na ritu riyaseng temanginggi (hal. 157).

Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali. Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan, dan ambilah minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya, demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,”

Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami, sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki…” (hal.158)

Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking.. (

Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.

Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.

Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.

Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama.

() Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri.

Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. “Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.”

Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164,ekhy mengomentari “…Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,”

Dia melanjutkan, “kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang.

Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan.

Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. “Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh.”al.

Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.

Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.

Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh.

Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, “bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma’.

Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (Ekhy kedda) selamat menikmati

Rabu, 27 Agustus 2014

mantra mantra bugis (baca baca tau ogi)

Postingan ini saya tulis karna banyak orang yg ingin memakai mantra man tra bugis, maaf kalau tutur kata peneulisan jelek soalnya saya bukan penulis tapi saya cuman berbagi mantra manra bugis asli yg saya dapatkan dilemari rumah saya sendiri mungkin punya kakek saya dlu LATO KEDDa yg masih memakai tulisan aksara bugis tpi saya sudah mengartikanya dalam tulisan biasa tpi masi tetap memakai bahasa bugis asli TO RIOLO klo begitu kita lansung saja ke inti nya inilah beberapa bacaan bacaan bugis yg saya masukkan cman sdikit shy soalnya saya tidak bisa menulis terlalu banyak klo masi mau menanyakan baca bacaan yg lainnyA lansung ajha dinomor ini- 085333367776 ----





''Baca Mattunu Dupa''
Lapaisseng asemmu batu langi muteppa ritaue nariaseng dupa asemmu muteppa ritanae nariaseng nariaseng lapalettu, paletturengnga ri anu

''Baca Timpa Tange''
Utimpa tangeku upasitimpa tajanna linoe ooo puakku paompoi matanna essoe pasiomporengnga dalleku sangaddi matengngei menre matanna essoe namatengngeto dalleku

''Baca Taro Doi''
Yarase asemmu doi lapaulle ambo indomu utaro kassaramu warekkeng alusumu nurung mattaro muhammad tambai Allah Ta'ala pabbarakkakko upasitako .... ettana sitaung welliakko anu, ucerako anu, tawana waie utang

''Baca Palao Doi''
Eh yarase muhammad palaoi kassaramu nalau rupa doi kutaro tawana apie anginge upalau eh yarase tellu pennino ri laommu mulisu ri alusumu

"Baca Mattaro Berre"
Ideceng asemmu berre ibumbu ola ipenno asemmu pabbaresseng, walu malako malaikat tambaiko mattiro uwaina tasie nametti pabba resseku leppappi olae naleppang olakku.

"Baca Mataneng – Taneng"
Kung mappala, kung mappamula noko mulessi menre mupenno, duppai topole panguju tollao tuanako labaco nennia becce amin ya’ rabbal alamin.

'Baca Matteppang Bibi Ripangempange"
Nabi helere nabimmu uweie, imallebbang asemmu wai kung massa asemmu tana, kung mappamula, kung ipammulai muallise muenre mupenna alhamdulillah sultanika.

"Baca Bukka Balu"
Ujala pasa’ ujala pappasa, golla pangelli bere-bere lessi mabbalu namalessi pangallie.

"Baca Piara Olo–Kolo"
Senge asemmu olokolo, api pabbijako,wai pajokoko angin padisingiko tana pakkianakiko karna allahu taalah kunfayakung.

Selasa, 26 Agustus 2014

SENJATA BUGIS

Racun pada senjata Bugis dikenal dengan sebutan 'Musso' berasal dari:
Bahan baku pembuatannya yang mengandung racun, misalnya perpaduan beberapa jenis logam tertentu dapat menghasilkan komposisi logam yang mengandung racun di tanah bugis sebuah senjata mengandung racun atau tidak biasanya dapat dilihat secara kasat mata seperti jenis ,malela, dan wellangpellang;
Proses pembuatannya dicampuri beberapa jenis racun,
Kemampuan supranatural seorang panre yang mampu memadukan unsur fisik dan metafisik..beberapa panre ditanah Bugis yang terkenal dengan kualitas senjatanya yang sangat berbisa seperti 'La Gecong' di Bone dengan badik buatannya yang dikenal dengan sebutan badik Gecong, Panre 'Baitullah' di Luwu, dan Panre 'Kanaa' di Soppeng
Jenis 'Pamussa' yang diletakan dalam pangulu, pamussa dapat terdiri berbagai bahan baku dan mantera tergantung akan dipakai untuk apa senjata tersebut...seperti kalau ingin ditakuti dan tidak ada lawan maka salahsatu bahan yang sering digunakan adalah kain yang digunakan menutupi wanita yang wafat dalam keadaan mengandung, kalau ingin disenangi maka salah satu bahannya adalah jenis kayu manis
Pada saat merawat senjata, digunakan beberapa campuran bahan racun..mohon maaf saya tidak usah sebutkan karena lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya
Antara racun pada senjata dan 'pamussa' dalam filosofi orang Bugis adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, ibaratnya bahannya (bessi) adalah hardware sedangkan 'pamussa, adalah sofwarenya, jangan heran kalau terkadang pada saat mencabut senjata bugis(Tappi/Badik) kadang ada perasaan lain bahkan biasa sampai merinding itulah pengaruh pamussa. Sering kita mendengar ungkapan-ungkapan dari kolektor senjata mengenai senjata bugis 'bahwa senjata-senjata bugis keindahannya hanya bisa dirasakan dengan hati, karena ketika dipegang senjata bugis membawa aura tersendiri' semua itu disebabkan oleh 'pamussa'
Dalam filosofi orang bugis, sebagus-bagunya 'bessi' /senjata, kalau tidak di pamussa maka akan berkurang kekuatannya..wallahualam

Beberapa Contoh Senjata Bugis yang mengandung bisa/racun (Musso)

Malela

Wellangpellang

Salapu


Kisah Seorang Panre (Panre Baitullah)

Menelusuri jejak Panre Besi di Sulawesi Selatan khususnya di tanah Bone adalah gampang-gampang susah, selain Raja Bone ke 2 Laumasa Peta Panrebessi agak sukar mencari Panre yang "sekelas" dengan beliau. Gambaran sosok Panre Besi di Tanah Bugis tidaklah seheroik kisah panre besi atau empu di Tanah Jawa seperti Empu Gandring yang terkenal dengan kerisnya. Walaupun demikian di tanah Bone terdapat seorang panre yang namanya melegenda di kalangan pencinta senjata tradisional khususnya badik.

Menurut cerita yang beredar dikalangan masyarakat, ada seorang Panre yang bergelar Panre Baitullah (tidak ada sumber yang menjelaskan riwayat hidup beliau) namun sebelumnya beliau menetap di Wilayah Ulaweng. Badik hasil buatan Panre Baitullah terkenal akan kesaktiannya sehingga sampai sekarang badik buatan beliau banyak diburu dan dianggap masterpice. Konon siapa saja yang memegang Badik buatan Panre Baitullah akan menjadi seorang yang disegani dan jarang mendapat lawan tanding. Keistimewaan badik buatan Panre Baitullah membuat gerah "penguasa" pada saat itu, karena setiap ada keributan pasti pembuat keributan itu memegang badik buatan Panre Baitullah.

Bahkan beredar kepercayaan dimasyarakat pada saat itu hanya badik buatan Panre Baitullah lah yang bisa menandingi kesaktian badik "penguasa" pada saat itu. Keadaan ini membuat penguasa saat itu memutuskan Panre Baitullah diasingkan ke daerah Larompong di wilayah Luwu. di sanalah beliau menghembuskan nafas terakhir, namun demikian kemahiran membuat badik yang berkualitas diwariskan kepada anak cucunya sampai saat ini...Wallahualam..

Madakapeng Tungke; konon badik ini dibuat ketika saat penyepuhan, maka disepuh di (maaf) kemaluan wanita, sehingga dipercaya bahwa tidak ada orang yang kebal ketika berhadapan dengan badik ini ..Wallahualam
Madakapeng Tungke: salah satu hasil karya Panre Baitullah, konon badik ini pada saat penyepuhan di jepit (maaf) pada 'kemaluan' wanita, sehingga dipercaya tidak ada orang kebal ketika berhadapan dengan badik ini
Menelusuri jejak Panre Besi di Sulawesi Selatan khususnya di Tanah Bone adalah gampang-gampang susah. selain Raja Bone II Laumasa Petta Panrebessi, kayaknya sangat sulit mencari seorang Panre sekelas beliau. Kisah tentang Panre di Tanah Bone mungkin tidaklah seheroik kisah empu-empu di tanah Jawa,namun demikian bukan berarti Tanah Bone (Bugis) tidak mempunyai panre yang mempunyai kisah yang melegenda sampai saat ini. Kisah ini diceritakan secara turun temurun dan hidup ditengah masyarakat bugis khususnya Bone sampai saat ini. Pada masa lalu di wilayah Bone hidup seorang Panre Besi bergelar Panre Baitullah (tidak ada riwayat yang menjelaskan asal usul beliau), beliau menetap di daerah ulaweng. Konon badik (beliau tidak membuat Tappi) hasil karya beliau terkenal akan kesaktiannya, siapa saja yang memegang badik ciptaan beliau akan menjadi seorang yang tangguh yang susah dicari tandingannya. pada masa itu setiap terjadi keributan atau pembunuhan hampir dapat dipastikan pelakunya memegang badik buatan Panre Baitullah. Keadaan ini membuat 'penguasa' pada saat itu mengambil keputusan untuk mengasingkan Panre Baitullah ke wilayah yang di sebut Babang di daerah Larompong wilayah Luwu.Kemampuan untuk membuat Badik di turunkan ke anak cucunya dan berlangsung hingga sekarang. Hingga saat ini badik hasil karya Panre Baitullah dianggap masterpiece dan menjadi incaran para pencinta senjata tradisional bugis...Wallahualam

Kilasan Badik Raja di Bone

Salah satu Badik Raja yang terkenal bernama Raja Tungke'na Bone peninggalan dimasa Raja Bone Lapatau Matana Tika
Badik/kawali, adalah senjata khas daerah bugis. Seperti layaknya daerah-daerah lain di Nusantara badik/kawali merupakan senjata tradisional yang tidak hanya berfungsi sebagai senjata tetapi juga sebagai simbol yang menunjukan pribadi pemegangnya maupun cita-cita dan harapan.

Pada masa terdahulu di Tana Bone, setiap anak terutama laki-laki dibekali dengan sepucuk badik, keingingan dan harapan orang tua terhadap sang anak biasanya dimanifestasikan melalui badik/kawali yang dipesan khusus kepada seorang Panre. Seperti misalnya apabila orang tua mengharapkan si anak hidup sejahtera tanpa kekurangan, maka dia sang orang tua akan memesan badik yang berpamor Kurisi atau Madaung ase. Begitu pula apabila orang tua ingin anaknya menjadi pemimpin yang disegani, pemberani dan berkahrisma maka yang dipesan adalah pamor makkure'cillampa.

Di Tana Bone terdapat beberapa macam jenis badik/kawali yang terkenal seperti salapu' (sebagian orang menggolongkan sebagai keris/tappi’) gecong ,raja, to asi,dll. Pada tulisan ini akan dikupas sekilas mengenai badik Raja. Di Tana Bone badik Raja merupakan salah satu badik yang tinggi derajatnya dan paling dicari oleh para penggemar senjata tradisional.

Badik Raja berasal dari sebuah desa di Kecamatan Kajuara di wilayah Bone Selatan. Konon badik Raja tidak dibuat oleh manusia biasa, melainkan oleh mahluk gaib. Di masa lalu masyarakat dikampung Raja tidak pernah melihat Panre' yang membuat badik raja. Pada malam-malam tertentu masyarakat disekitar tempat pembuatan Badik Raja hanya mendengar suara palu beradu dengan besi tanpa penah melihat siapa pembuatnya. Saat pagi menjelang sebuah Badik Raja selesai dibuat. Sampai saat ini, dikampung Raja masih terdapat benda-benda yang oleh masyarakat sekitar dipercaya sebagai alat-alat pembuatan Badik Raja.

Ciri-ciri badik raja hampir mirip dengan badik lampobattang, bentuk bilahnya agak membungkuk, dari hulu agak kecil kemudian melebar kemudian meruncing. Pada umumnya mempunyai pamor timpalaja atau mallasoancale di dekat hulunya. Bahan besi dan bajanya berkualitas tinggi serta mengandung meteorit yang menonjol dipermukaan, kalau kecil disebut uleng-puleng kalau besar disebut batu-lappa dan kalau menyebar di seluruh permukaan seperti pasir disebut bunga pejje atau busa-uwae. Badik raja di masa lalu hanya digunakan oleh arung atau dikalangan bangsawan-bangsawan dikerajaan Bone.

Mistik sekitar Badik Bone
Salah satu Badik Bone yang dibuat dengan cara di pesse'/dipijat bukan di tempa

Badik/kawali bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi. Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini terutama di tanah Bone. Kebiasaan tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada Badik/kawali tersebut.

Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
Badik/kawali yang bagus/istimewa dapat dilihat dari beberapa unsur, yakni:

a. Dari segi fisik Badik/kawali dapat dilihat:
Bahan bakunya terbuat dari besi dan baja pilihan biasanya mengandung meteorit dan ringan. Wilayah Sulawesi Selatan sejak zaman dahulu terkenal dengan besi luwu yang berkualitas tinggi.
Pamor;ragam pamor pada Badik/kawali lebih sederhana dari dari keris jawa biasanya terdiri dari jenis pamor kurrisi, lasoancale, parinring, bunga pejje, madaongase,kuribojo,tebajampu, timpalajja dan balopakki.
b. Segi sisi’(tuah)/mistik antara lain:
Uleng puleng dan battu lappa; sebenarnya merupakan kandungan meteorit. Bagi sebagian orang percaya Badik/kawali yang mempunyai ulengpuleng(kalau kecil)/battu lappa (kalau besar) akan membawa kebaikan pada pemiliknya baik berupa kemudakan rezki, karisma, maupun peningkatan karir. Posisi ulengpuleng/battulappa yang dicari adalah yang terletak dipunggung badik kira-kira berjarak 5 cm dari hulu/pangulu karena dipercaya akan memudahkan rezki dan karir. Badik/kawali yang memiliki ulengpuleng dan battulappa juga dipercaya dapat menghindari gangguan mahluk halus, sihir dan tolak bala.
Mabelesse ; adalah retakan diatan punggun Badik/kawali sehingga seakan-akan Badik/kawali tersebut akan terbelah dua. Badik seperti ini dipercaya akan memudahkan rezki bagi pemiliknya sehingga banyak dicari oleh yang berprofesi sebagai pedagang.
Sumpang buaja; sama seperti mabelesse Cuma retakannya pada bilah dekat ujung Badik/kawali. Tuahnya sama seperti mabelesse namun yang dicari yang letaknya pada bilah sebelah kanan dekat ujung Badik/kawali.
Ure tuwo; adalah garis yang muncul pada bilah Badik/kawali. Yang dicari adalah yang tidak terputus-putus, kalau letaknya dipunggung Badik/kawali dan tidak terputus dari hulu sampai ujung tuahnya membuat sang pemilik disegani dan dituruti semua perkataannya, kalau melingkar ke atas dari bilah ke bilah sebelahnya seperti badik luwu sambang maka tuahnya untuk melindungi pemiliknya dari malapetaka dan kalau turun ke baja maka untuk memudahkan rezki.
Tolongeng; adalah lubang pada punggung Badik/kawali yang tembus ke bawah terletak dekat hulu/pangulu sehingga kalau dilihat seakan seperti teropong. Pada zaman dahulu sebelum berangkat perang biasanya panglima perang meneropong pasukannya melalui Badik/kawali tolongeng.
Sippa’sikadong; adalah retakan pada tengah bilah Badik/kawali dari punggung Badik/kawali. Tuahnya adalah membuat pemiliknya disenangi oleh siapa saja yang melihatnya. Pada zaman dahulu apabila ada seseorang akan melamar gadis, maka utusan dari laki-laki akan membawa Badik/kawali sippa’sikadong yang bertujuan agar memudahkan lamarannya diterima pihak perempuan
Pamussa’; adalah upaya memperkuat daya magis Badik/kawali yang diletakan dalam hulu/pangulu Badik/kawali. Biasanya dengan menggunakan bahan-bahan tertentu tergantung akan digunakan untuk apa Badik/kawali yang akan di beri pamussa.
Pangulu; di kalangan masyarakat bugis Bone berkembang suatu keyakinan akan kemampuan yang dimiliki sebagian orang yang mampu membuat pihak lawan tidak mampu mencabut Badik/kawali ketika akan digunakan, ilmu ini dikenal dengan istilah pakuraga/pabinrung. Pangulu yang caredo (terbelah/atau memiliki mata) secara alami dipercaya mampu mengatasi orang yang memiliki ilmu tersebut.
Demikian sekilas mengenai mistik di sekitar badik, tulisan ini tidak bermaksud mengajarkan kita untuk menjadi musyrik kepada Allah SWT, tetapi lebih untuk mengenal kebudayaan masyarakat Bugis.