Rabu, 25 Juni 2014

MAPPERE acara adat desa pinceng pute

                 ekhy kedda
pinceng pute.,:)(Mappere’ merupakan salah satu pesta rakyat dan telah menjadi tradisi tahunan masyarakat pinceng pute Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Sebagian besar masyarakat pinceng pute, menjadikan permainan mappere’ sebagai ritual dan bentuk kesyukuran atas hasil panen yang telah mereka peroleh.
Waktu pelaksanaan tradisi mappere’, tidaklah menentu. Namun biasanya mappere’ digelar pada akhir tahun, antara bulan Oktober hingga bulan Desember.

Mappere, Ritual Syukuran Warga
Mappere’ berasal dari bahasa bugis yang berarti bermain ayunan. Permainan itu tentunya bukan hal yang asing di telinga anda. Namun, bagaimana jika ayunan tersebut memiliki ketinggian belasan meter? Tentunya bukan hal yang biasa.

Ketika ribuan warga telah memadati lapangan terbuka, serta pemuka adat sedang membaca mantra untuk keselamatan para gadis agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada saat tradisi sedang berlangsung. maka itu suatu pertanda acara mappere’ akan segera dimulai.

Permainan tersebut dipastikan mendebarkan jantung dan membuat penonton terpukau. Bahkan tak jarang penonton berteriak dengan nada khawatir ketika menyaksikan keberanian para gadis desa yang secara bergantian berayun-ayun di udara sambil melenggak-lenggokkan kedua tangannya . Dan beberapa pria dewasa bertugas menarik tali ayunan tersebut dengan sekuat-kuatnya.

Pesta rakyat tersebut memang cukup menantang, karena pelakunya harus memiliki nyali untuk diayun hingga belasan meter dengan mencapai putaran 180 derajat.

Dalam pelaksanaan tradisi itu, para gadis desa yang diayun harus menggunakan baju bodo’ yang merupakan baju adat suku bugis..

Ayunan raksasa itu, terbuat dari pohon randu (kawu kawu ) yang diikatkan dengan beberapa pohon bambu sebagai penyangga. Serta beberapa bambu lainnya digunakan sebagai gantungan tali rotan yang berfungsi sebagai tali ayunan.

Sementara itu, ketika acara sedang berlangsung, sejumlah ibu rumah tangga sibuk di rumah masing-masing untuk mempersiapkan santap siang bagi warga yang datang dari luar desa tersebut.

Tradisi mappere’ telah menjadi ritual turun temurun dan menjadi suatu simbol bahwa dalam menghadapi segala tantangan duniawi, kaum pria harus selalu setia menuntun dan menjaga kaum wanita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar